Disusun oleh: Rahma Latifa
Suasana Masjid Jajar Surakarta pada pagi 9 Rabi’ul Akhir 1447 H, bertepatan dengan 1 Oktober 2025, dipenuhi dengan antusiasme para mahasiswa dan mahasiswi. Majelis pagi ini terasa istimewa, diisi dengan Kuliah Umum oleh Syekh Dr. Hilal bin Syaddad Al-Muthairi hafidhahullah yang membawakan materi dengan judul “Keutamaan Ilmu dan Ulama.” Di tengah hiruk pikuk perkuliahan, majelis ini menjadi oase, mengingatkan kembali akan keagungan ilmu. Semoga pagi ini menjadi pagi yang berkah, sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan umatnya: “Ya Allah, berkahilah umatku pada pagi harinya.”
Kedudukan Ilmu Dalam Islam
Syekh Hilal menegaskan bahwa ilmu dalam Islam menempati kedudukan yang sangat tinggi dan mendasar. Agama ini dibangun di atas dalil, yang artinya setiap amal ibadah harus berlandaskan ilmu agar sah dan diterima. Ilmu bukan sekadar pengetahuan, melainkan wajib ditadabburi. Sebagaimana dalam firman-Nya: “(Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu (Muhammad) dengan penuh berkah, agar mereka menghayati (mentadabburi) ayat- ayatnya, dan agar orang-orang yang berakal mendapatkan pelajaran.” (QS. Shaad: 29).
Al-Qur’an adalah pedoman utama. Maka penuntut ilmu wajib memahaminya. Rasulullah tidak menyampaikannya berdasarkan hawa nafsunya, melainkan murni wahyu dari Allah Ta’ala. “Dan tidaklah yang diucapkannya itu (Al Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan.” (QS. An Najm: 3-4). Selain sebagai pedoman, Al-Qur’an juga berfungsi sebagai penyembuh bagi hati. Allah berfirman: “Wahai manusia! Sungguh, telah datang kepadamu pelajaran (Al-Qur’an) dari Tuhanmu, penyembuh bagi penyakit-penyakit yang ada di dalam dada, dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Yunus: 57).
Adapun Hadis Nabi (Sunnah) memiliki peran krusial sebagai penjelas bagi apa yang tidak dirincikan dalam Al-Qur’an dan berfungsi sebagai penafsir Al-Qur’an itu sendiri. Maka sudah semestinya para penuntut ilmu untuk menjadikan Al Qur’an dan Hadis sebagai sumber pengetahuan utama. Dan apabila terjadi perselisihan di kalangan mereka tentang suatu perkara, hendaknya mereka mengembalikan penyelesaiannya kepada Allah dan Rasul-Nya (Al-Qur’an dan Sunnah).
Kemuliaan Orang yang Berilmu
Kedudukan ahli ilmu (ulama) adalah kedudukan yang agung. Dalam persaksian tentang tauhid, Allah Ta’ala menyandingkan persaksian para ulama dengan persaksian-Nya sendiri dan para malaikat, sebagaimana dalam Surah Ali Imran ayat 18: “Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Dalam firman-Nya yang lain: “… apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?…” (QS. Az-Zumar: 9). Allah memberikan pertanyaan retoris ini sebagai penegasan bahwa orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu jelas berbeda. Ibarat perbedaan antara siang dan malam, gelap dan terang, atau air dan api.
Karena keutamaannya, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjanjikan derajat yang tinggi bagi ahli ilmu. Derajat mereka lebih tinggi daripada derajat orang-orang yang beriman pada umumnya. Dalilnya adalah firman Allah: “… niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat…” (QS. Al-Mujadilah: 11). Allah memuliakan ahli ilmu di dunia dan akhirat. Bahkan, semua penduduk langit dan bumi memohonkan ampunan untuknya.
Dalam sebuah hadis disebutkan, bahwa ulama adalah pewaris para nabi. Para nabi tidak mewariskan harta, melainkan mewariskan ilmu. Dan barangsiapa yang mengambil bagian dari ilmu, maka ia telah mengambil bagian yang besar. Keutamaan mereka dibandingkan dengan ahli ibadah diibaratkan bulan purnama yang sinarnya mengalahkan cahaya bintang-bintang lainnya. Kesibukan seseorang dalam menuntut ilmu bahkan lebih utama daripada kesibukan seseorang yang melakukan ibadah sunnah, karena manfaat ilmu yang meluas (mutta’adi) hingga mencakup kemaslahatan orang lain, tidak terbatas hanya pada diri sendiri.
Keikhlasan dan Keteguhan
Dalam diskusi penutup, syekh menekankan bahwa tholabul ilmi adalah amal yang paling mulia, dan wajib untuk ikhlas di dalamnya. Salah satu bentuk ikhlas adalah meniatkan agar ilmu tersebut dapat bermanfaat bagi kaum muslimin. Beliau juga berpesan, ketika semangat belajar mulai meredup, penuntut ilmu hendaknya membaca kembali sirah para ulama untuk mengambil teladan, membangkitkan kembali motivasi, serta meneguhkan niat suci dalam menuntut ilmu.
Penutup dan Refleksi
Ilmu adalah cahaya, dan tugas kita adalah menjaga agar cahaya itu tidak pernah padam. Ketekunan dan keikhlasan adalah kunci agar setiap ilmu yang didapat menjadi hujjah yang bermanfaat. Tanggung jawab menjaga ilmu semakin ditekankan karena Allah mengangkat ilmu dengan cara mewafatkan para ulama. Ketika tidak tersisa lagi seorang ulama yang menguasai ilmu, umat akan merujuk kepada orang-orang yang minim ilmu. Mereka berfatwa tanpa dasar ilmu yang memadai, dan kondisi ini dapat menyesatkan banyak orang. Oleh karena itu, menuntut dan menyebarkan ilmu adalah jihad untuk memastikan cahaya petunjuk terus bersinar di tengah umat.
Bihamdillah, kuliah umum telah usai, meninggalkan kesan yang mendalam. Kami kembali ke kelas masing-masing, tak hanya membawa catatan, namun juga komitmen yang diperbarui. Semoga apa yang beliau sampaikan bukan sekadar kesejukan sesaat, tetapi sebagai pilar-pilar yang menguatkan langkah kami, para calon penerus yang akan mengemban amanah yang mulia ini. Ya Allah, berikanlah manfaat kepada kami dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Aamiin.



